Kamis, 04 September 2014
Sabtu, 28 Juni 2014
Masa Kejayaan, Kemunduran dan Pembaharuan Pendidikan Islam
Masa Kejayaan, Kemunduran dan Pembaharuan Pendidikan Islam
A. MASA KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM
Masa ini dimulai dengan
berkembang pesatnya kebudayaan Islam, yang ditandai dengan berkembang luasnya
lembaga-lembaga pendidikan Islam dan madrasah-madrasah (sekolah-skolah) formal
serta unversitas dalam berbagai pusat kebudayaan Islam.
Dalam perkembangan kebudyaan
Islam, nampak adanya dua faktor yang saling mempengaruhi, yaitu faktor intern
atau pembawaan dari ajaran islam itu sendiri. Dan faktor ekstern, yaitu berupa
rangsangan dan tantangan dari luar.
1. Berkembangnya lembaga-lembaga
pendidikan islam
a. Kuttab sebagai lembaga
pendidikan dasar
Kuttab atau maktab, berasal dari
kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi katab adalah
tempat belajar menulis.
b. Pendidikan rendah di Istana
Timbulnya pendidikan rendah di
Istana untuk anak-naka maka para pejabat, adalah berdasarkanpemikiran bahwa
pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan
tugas-tugasnya kelak setelah dewasa.
Guru yang mengajar di istana di
sebut mu’addib. Kata mu’addib, berasal dari kata adab, yang berarti budi
pekerti atau meriwayatkan. Guru pendidikan anak di istana disebut mu’addib.
Karena berfungsi mendidik budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan
pengetahuan-pengetahuan orang-orang dahulu kepada anak-anak pejabat.
c. Toko-toko kitab
Fungsinya bukan hanya sebagai
tempat berjual beli kitab-kitab saja, tetapi juga merupakan tempat berkumpulnya
para ulama, pujanggaa dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi,
berdebat bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Sebagai lemabaga
pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan
kebudayaan islam.
d. Rumah-rumah para ulama (ahli
ilmu pengetahuan)
Diantara rumah ulama terkenal
yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ali Ibnu
Muhammad Al-Fasihi, Ya’Qub Ibnu Killis, Wazir Khalifah Al-Aziz billah
Al-Fatimy, dan lain-lainnya.
e. Majlis atau saloon
kesusastraan
Dengan majlis atau saloon
kesusastraan, dimaksud adalah suatu majlis khusus yang diadakan oleh khalifah
untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majlis ini bermula sejak zaman
khulafurasyidin.
Pada masa Harun Al-Rasyid
(170-193 H) majlis sastra ini mengalami kemajuan yang luar biasa, karena
khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai kecerdasan,
sehingga khalifah sendiri aktif di dalamnya.
f. Badiah (padang pasir, dusun
tempat tinggal badwi)
Di badiah-badiah ini biasanya
berdiri ribat-ribat atau zawiyah-zawiyah yang merupakan pusat-pusat kegiatan
daripada ahli sufi. Di sanalah sufi mengembangkan metode khusus dalam mencapai
ma’rifat, suatu tingkat ilmu pengetahuan yang mereka anggap paling tinggi
nilainya.
g. Rumah sakit
Rumah-rumah sakit tersebut, bukan
hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi
juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawat dan pengobatan.
h. Perpustakaan
Buku adalah merupakan sumber
informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh
para ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan
yang telah tertulis dalam buku.
Baitul Hikmah di Bagdad yang
didirikan oleh Khlifah Harun Al-Rasyid, adalah merupakan salah satu contoh dari
perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan Bahasa
Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada masa itu, dan
berbagai buku-buku terjemahan dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty
dan Aramy.
i. Masjid
Masjid dalam dunia Islam,
sepanjang sejarahnya tetap memegang pernanan yang pokok, di samping fungsinya
sebagai tempat berkomunikasi dengan Tuhan, sebagai lembaga pendidikan dan pusat
komunikasi sesama kaum muslimin.
2. Sistem pendidikan di
sekolah-sekolah
Diantara faktor-faktor yang
menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah di laur masjid adalah bahwa :
a. Khalaqah-khalaqah (lingkaran)
untuk mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan yang di dalamnya juga terjadi
diskusi dan perdebatan yang ramai, sering satu sama lain saling mengganggu, di
samping sering pula mengganggu orang-orang yang beribadah dalam masjid. Keadaan
demikian, mendorong untuk dipindahkannya khalaqah-khalaqah tersebut ke luar
lingkungan masjid, dan didirikanlah bangunan-bangunan sebagai ruang-ruang
kuliah atau kelas-kelas yang tersendiri.
b. Dengan berkembang luasnya ilmu
pengetahuan, baik mengenai agamma maupun umum maka dieprlukan semakin banyak
khalaqah-khalaqah (lingkaran-lingkaran pengajaran), yang tidak mungkin
keseluruhan tertampung dalam ruang masjid.
Mahmud Yunus, secara garis besar
menggambarkan pokok-pokok rencana pelajaran pada berbagai tingkatan pendidikan
tersebut sebagai berikut :
a. Rencana pelajaran kuttab
(pendidikan dasar)
1) Membaca Al-Quran dan
menghafalnya
2) Pokok-pokok agama Islam,
seperti cara wudhu, salat, puasa dan sebagainya
3) Menulis
4) Kisah atau riwayat orang-orang
besar Islam
5) Membaca dan menghafal
syair-syair atau nasar (prosa)
6) Berhitung
7) Pokok-pokok nahwu dan saraf
ala kadarnya
b. Rencana pelajaran tingkat
menengah
1) Al-Quran
2) Bahasa Arab dan kesustraanya
3) Fiqh
4) Tafsir
5) Hadis
6) Nahwu/saraf/balagah
7) Ilmu-ilmu pasti
8) Mantiq
9) Ilmu Falak
10) Tarikh (sejarah)
11) Ilmu-ilmu Alam
12) Kedokteran
13) Musik
14)
c. Rencana pelajaran pada
pendidikan tinggi
Pada umumnya rencana pelajaran
pada perguruan tinggi Islam, dibagi menjadi dua jurusan, yaitu :
1) Jurusan ilmu-ilmu agama dan
bahasa serta sastra Arab, yang juga disebut sebagai ilmu-ilmu Naqiyah, yang
meliputi :
a). Tafsir Al-Quran
b). Hadis
c). Fiqh dan ushul Fiqh
d). Nahwu/saraf
e). Balagah
f). Bahasa Arab dan
Kesusastraannya
2) Jurusan ilmu-ilmu umum, yang
disebut sebagai ilmu Aqliyah meliputi :
a). Mantiq
b). Ilmu-ilmu alam dan kimia
c). Musik
d). Ilmu-ilmu pasti
e). Ilmu ukur
f). Ilmu falak
g). Ilmu Hahiyah (Ketuhanan)
h). Ilmu Hewan
i).Ilmu Tumbuh-tumbuhan
j). Kedokteran
3. Puncak kemajuan ilmu dan
kebudayaan Islam
Sebagaimana telah dikemukakan
bahwa tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam, adalah
sebagai akibat dan berpadunya unsur-unsur pembawaan ajaran Islam dengan
unsur-unsur yang berasal dari luar.
Henry Margenan dan David
Bergamini dalam The Scientish sebagaimana diolah oleh Jujun S. Suriasumantri,
telah mendaftar sederetan cabang ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan
sebagai haisl perkembangan pemikiran dan ilmiah di kalangan kaum muslimin pada
masa jayanya, Yang kemudian secara berangsur-angsur berpindah ke dunia Barat,
sebagai berikut :
a. Dalam bidang matematika, telah
dikembangkan oleh para sarjana muslim berbagai cabang ilmu Pengetahuan, Seperti
Teori Bilangan, Al-jabar, Geometri Analit, dan Trigonometri.
b. Dalam bidang Fisika, mereka
telah berhasil mengembangkan Ilmu Mekanika dan Optika
c. Dalam kimia, telah berkembang
ilmu Kimia
d. Dalam bidang Astronomi, kaum
muslimin telah memiliki Ilmu Mekanika Benda-benda langit
e. Dalam bidang geologi, para
ahli ilmu pengetahuan muslim telah mengembangkan Geodesi, Minerologi, dan
meteorologi
f. Dalam bidang Biologi, mereka
telah memiliki ilmu-ilmu Phisiologi, Anatomi, Botani, Zoologi, Embriologi dan
Pathologi
g. Dalam bidang sosial, telah
pula berkembang Ilmu politik
B. MASA KEMUNDURAN PENDIDIKAN
ISLAM
Sebab-sebab melemahnya pikiran
Islam tersebut, antara lain dilukiskannya sebagaiberikut :
1. Telah berkelebihan filsafat
Islam (yang bercorak sifistis) dimasukan oleh Al-Ghazali dalam Islam dan
berkelebihan pula Ibn Rusyd dalam memasukan filsafat Islamnya (yang bercorak
rasionalistis) ke dunai Islam di Barat
2. Para khalifah, sultan, Amir,
umat Islam melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, jadi tidak memberi
kesempatan berkembang, jika pada awalnya para pejabat pemerintah itu sangat
memperhatikan pendidikan Islam dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada
para ahli ilmu pengetahuan, maka pada masa ini para ahli ilmu pengetahuan
umumnya terlibat dalam urusan pemerintah sehingga melupakan tugas-tugas
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan
3. Banyak terjadi pemberontakan
dan serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran dan mengakibatkan
berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia
Islam. Pemikiran Islam berpindah tangan ke tangan ke kaum Nasrani, mereka telah
mengikuti jejak kaum muslimin dan menggunakan hasil buah pikiran yang mereka
peroleh dari pikiran umat Islam
C. MASA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN
ISLAM
1 Pola-pola pembaharuan
pendidikan Islam
(1). Pola pembaharuan pendidikan
islam yang berorientasi kepada pola pendidikan modern di Eropa
(2). Yang berorientasi dan bertujuan
untuk pemurnian kembali ajaran Islam.
(3). Yangg berorientasi pada
kekayaan dan sumber budaya bangsa masing-masing dan yang bersifat nasionalisme
copy form : http://www.soegiartho.abatasa.com/post/detail/9923/masa-kejayaan-kemunduran-dan-pembaharuan-pendidikan-islam
Loading...
Senin, 16 Juni 2014
hadis tentang riba
Hadits Tentang Riba
A. Hadits
Tentang Riba
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو
الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ
سَوَاءٌ (مسلم)
Dikatakan Muhammad ibn ash-shobbah dan zuhairu ibn harb dan
utsmann ibn abi syaibah mereka berkata diceritakan husyaim dikabarkan abu
zubair dari jabir r.a beliau berkata : Rasulullah SAW mengutuk makan riba,
wakilnya dan penulisnya, serta dua orang saksinya dan beliau mengatakan mereka
itu sama-sama dikutuk. Diriwayatkan
oleh muslim.
قوله : لعن رسول الله صلى
الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه وقال : هم سواء ) , هذا تصريح
بتحريم كتابة المبايعة بين المترابين والشهادة عليهما . وفيه : تحريم الإعانة على
الباطل . والله أعلم
Maksudnya, Rasulullah SAW memohon do’a kepada Allah agar orang
tersebut dijauhkan dari Rahmat Allah. Hadits tersebut menjadi dalil yang
menunjukan dosa orang-orang tersebut dan pengharaman sesuatu yang mereka
lakukan. Dikhususkan makan dalam Hadits tersebut, karena itulah yang
paling umum pemanfaatan penggunaannya. Selain untuk makan, dosanya sama saja.
Yang dimaksud موكله itu
adalah orang yang memberikan riba, karena sesungguhnya tidak akan terjadi riba
itu kecuali dari dia. Oleh karena itu, dia termasuk dalam dosa. Sedangkan dosa
penulis dan saksi itu adalah karena bantuan mereka atas perbuatan terlarang
itu. Dan jika keduanya sengaja serta menngetahui riba itu maka dosa bagi
mereka.
Dalam suatu riwayat telah dipaparkan, beliau telah mengutuk
seorang saksi dengan mufrad (tungggal) karena dikehendaki jenisnya. Lalu
juga kamu katakan hadits yang artinya : S “ Ya Allah apa-apa yang saya
kutuk, jadikanlah dia sebagai rahmat, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan dalam
matan lain ”apa yang saya kutuk maka
memberatkan orang yang saya kutuk itu “, menunjukan keharamannya. Dan tidaklah
dimaksudkann do’a yang sebenarnya yang membahayakan orang beliau do’akan.
Itu jika orang yang dikutuk tersebut bukan yang melakkukan
perbuatan yang diharamkan dan tahu kutukan itu dalam keadaan Rasulullah marah.
عن
عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عن النبي ص.م: الربا ثلاثة وسبعون
بابا ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه وان اربى الربا عرض الرجل المسلم(رواه ابن ماجه
فحتصر والحاكم بتمامه وصجيح)
Dari Abdullah bin mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda: Riba
itu ada 73 pintu. Yang paling ringan diantarannya ialah seperti seseorang
laki-laki yang menikahi ibunya, dan sehebat-hebattnya riba adalah merusak
kehormatan seorang muslim. (diriwayatkan oleh ibnu majah dengan rigkas dan olah
al-hakim selengkapnya dan beliau menilainya sahih.
Adapun yang semakna dengan hadits tersebut terdapat beberapa
Hadits. Telah ditafsirkan riba dalam hal merusak nama baik atau merusak
kehomatan seorang muslim sama saling mencaci maki.
Dalam Hadits tersebut disebutkan bahwa riba itu bersifat mutlak
terhadap perbuatan yang diharamkan, sekalipun bukan termasuk dalam bab ribayang
terkenal itu. Penyamaan riba yang paling ringan dengan seseora ng yang berzina
dengan ibunya seperti sudah disebutkan tadi karena dalam perbuatan riba itu
terdapat tindasan yang menjijikkan akal yang
normal.
عن ابي سعيد الخدرى رضى
الله عنه ان رسول الله ص.م قال لاتبعوا الذهب الا مثل ولا تشفوا بعضها على بعض ولا
تبعوا الورق با لورق الا مثلا بمثل, ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبيعوا منها
غائبا بناخر (متفق عليه)
Dari abi Said al-khudari r.a ( katanya): sesungguhnya Rasulullah
bersabda :Jangnanlah kamu menjual dengan emas kecuali yang sama nilainya, dan
janganlah kamu menjual uang dengan uang kecuali yang sama nilainnya, dan
jangganlah kamu menambah sebagian atas sebagiannya, dan jannganlah
kammu menjual yang tidak kelihatan diantara dengan yang nampak. (muttafaq
Alaihih).
Hadits tersebut menjadi dalil yang menunjukan pengharaman jual
emas dengan emas, dan perak dengan perak yang lebih kurang (yang tidak sama
nilainya) baik yang satu ada di tempat jual beli dan yang lain tidak ada
ditempat penjualan berdasarkann sabdanya “kecuali sama nilaiya”.
Sesungguhnya dikecualikan dari itu dalam hal-hal yang paling umum, seakan-akan
beliau bersabda: janganlah kamu jual- belikan emas dan perak itu dalam keadaan
yang bagaimanapu, kecuali dalam keadaan yang sama nilainya ataupun harganya
emas dan perak itu sendiri[1].
B. Macam-Macam Riba
Menurut para
ulama fiqih, riba dapat dibagi menjadi empat macam, masing-masing[2]
:
1. Riba Fadhl,
yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama
timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan.
Contoh : tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan sebagainya.
Contoh : tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan sebagainya.
2. Riba Qardh,
yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi orang
yang meminjami atau mempiutangi.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
3. Riba Yad
yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya : orang yang
membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang tersebut dari
sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak
boleh, sebab jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
4. Riba Nasi’ah
yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupn tidak sejenis yang
pembayarannya disyaraktkan lebih, dengan diakhiri atau dilambatkan oleh yang
meminjam.
Contoh : Aminah membeli cincin seberat 10 Gram. Ole penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan apalagi terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun.
Contoh : Aminah membeli cincin seberat 10 Gram. Ole penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan apalagi terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun.
[1] As-shanani, subulussalam,
terjamahan Abu Bakar Muhammad (Surabaya: Al-Ikhlas,1995), 126-128
hadis tentang orang munafik
Pembahasan Hadits Shahih Bukhari, biidznillah, kini memasuki hadits ke-33. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Sebagaimana judul yang diberikan oleh Imam Bukhari " باب عَلاَمَةِ الْمُنَافِقِ", pembahasan Hadits Shahih Bukhari ke-33 ini kita beri judul "Tanda-tanda Munafik".
Berikut ini matan (redaksi) Hadits Shahih Bukhari ke-33:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat"
Penjelasan Hadits
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga:
Hadits ini adalah hadits yang sangat populer, sekaligus hadits yang sangat penting untuk memperingatkan kita agar waspada terhadap kemunafikan; jangan sampai penyakit itu menjangkiti kita.
Munafik (المنافق) artinya adalah orang yang nifaq (النفاق). Nifaq secara bahasa berarti ketidaksamaan antara lahir dan batin. Jika ketidaksamaan itu dalam hal keyakinan, hatinya kafir tetapi mulutnya mengatakan beriman, maka ia termasuk nifaq i'tiqadi. Pada zaman Rasulullah SAW, di Madinah ada munafik-munafik jenis ini dengan gembongnya bernama Abdullah bin Ubay bin Salul. Nifaq jenis ini seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah : 8)
Karena kemunafikan itu masalah hati yang tersembunyi, maka tidak seorangpun yang bisa memastikan seseorang itu munafik atau bukan. Bahkan sahabat sekaliber Umar bin Khatab pun tidak mengetahuinya. Hanya seorang sahabat yang tahu satu per satu orang-orang munafik di Madinah waktu itu. Dialah Hudzaifah Ibnul Yaman. Hudzaifah mengetahui siapa orang-orang munafik karena Rasulullah SAW memberitahukan kepadanya. Itu merupakan salah satu keutamaan Hudzaifah sehingga ia dijuluki pemegang rahasia Rasulullah.
Meskipun tidak dapat diketahui secara pasti, kemunafikan bisa diwaspadai dari tanda-tandanya. Dalam hadits ini Rasulullah SAW menjelaskaskan bahwa tanda-tanda munafik itu ada tiga.
Jika tanda-tanda munafik ini ada pada seseorang, hendaklah orang itu diwaspadai supaya tidak dijadikan pemimpin bagi umat Islam. Namun yang lebih penting, dengan memperhatikan tiga tanda-tanda munafik ini kita mewaspadai diri kita agar jangan sampai kemunafikan hinggap dalam jiwa.
Tanda Munafik yang Pertama
إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ
jika berbicara ia berbohong
Inilah tanda munafik yang pertama; gemar berbohong. Semakin sering berbohong, semakin dekat dengan kemunafikan.
Dalam hadits lain Rasulullah SAW pernah mensifati seorang mukmin. Bahwa mungkin saja seorang mukmin itu penakut, mungkin saja bakhil, tetapi tidak mungkin seorang mukmin itu pembohong.
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ جَبَانًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ بَخِيلًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا فَقَالَ لَاََََ
Ditanyakan kepada Rasulullah Saw: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut?” Beliau menjawab: ‘Ya.” Lalu ditanya lagi: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu ditanyakan lagi: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong?” Beliau menjawab: “Tidak!” (HR. Malik dari Sofwan bin Sulaim dalam Al-Muwatha')
Tanda Munafik yang Kedua
وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
jika berjanji ia mengingkari
Inilah tanda munafik yang kedua; gemar mengingkari janji. Semakin sering mengingkari janji, semakin dekat dengan kemunafikan. Karenanya, berhati-hatilah dengan janji.
Tanda munafik yang kedua ini tidak lebih mudah dihindari daripada tanda munafik pertama. Sering kali seorang muslim sudah mampu menjaga agar perkataannya benar, menghindari berbohong, tetapi ia masih mudah berjanji padahal ia tahu dirinya sulit memenuhi janji itu. Apalagi jika seseorang menjadi pemimpin; dorongan untuk berjanji biasanya lebih besar. Maka intensitas memberikan janji semakin besar. Lihatlah praktik kampanye di zaman sekarang. Bukankah dalam satu pertemuan saja bisa dicatat sekian banyak janji? Berhati-hatilah.
Tanda Munafik yang Ketiga
وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
dan jika diberi amanah ia berkhianat
Ini tanda munafik yang ketiga; mengkhianati amanah. Semakin sering dilakukan, semakin dekat dengan kemunafikan. Semakin besar amanah yang dikhianati, semakin jelas tanda kemunafikan. Sekali lagi, meskipun kita tidak bisa memastikan.
Amanah bentuknya bisa bermacam-macam. Bisa jadi ia adalah pekerjaan atau profesi yang di dalamnya ada kewajiban yang seharusnya kita penuhi. Bisa jadi ia adalah kepemimpinan yang dipercayakan kepada kita. Bahkan titipan barang dari orang lain agar kita menjaganya, atau rahasia dari orang lain agar kita menyimpannya, semua itu termasuk amanah.
Maka, marilah kita melakukan introspeksi diri agar tidak terjerumus dalam kemunafikan. Jika selama ini kita kurang komit terhadap kejujuran, mudah mengingkari janji atau menganggap remeh amanah, marilah kita bertaubat dan memperbaiki diri.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Munafik adalah orang yang nifaq, antara lahir dan batinnya tidak sama (bertolak belakang). Yang paling parah adalah ketika secara dzahir mengatakan beriman tetapi hatinya kafir ;
2. Meskipun orang munafik tidak dapat diketahui secara pasti, namun tanda-tandanya dapat dikenali;
3. Tanda-tanda orang munafik ada tiga yaitu jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia mengingkari dan jika diberi amanah ia berkhianat.
Demikian Hadits ke-33 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kemunafikan dan orang munafik, serta dikaruniai taufiq agar terjauh dari tanda-tanda munafik. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Sebagaimana judul yang diberikan oleh Imam Bukhari " باب عَلاَمَةِ الْمُنَافِقِ", pembahasan Hadits Shahih Bukhari ke-33 ini kita beri judul "Tanda-tanda Munafik".
Berikut ini matan (redaksi) Hadits Shahih Bukhari ke-33:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat"
Penjelasan Hadits
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ
Hadits ini adalah hadits yang sangat populer, sekaligus hadits yang sangat penting untuk memperingatkan kita agar waspada terhadap kemunafikan; jangan sampai penyakit itu menjangkiti kita.
Munafik (المنافق) artinya adalah orang yang nifaq (النفاق). Nifaq secara bahasa berarti ketidaksamaan antara lahir dan batin. Jika ketidaksamaan itu dalam hal keyakinan, hatinya kafir tetapi mulutnya mengatakan beriman, maka ia termasuk nifaq i'tiqadi. Pada zaman Rasulullah SAW, di Madinah ada munafik-munafik jenis ini dengan gembongnya bernama Abdullah bin Ubay bin Salul. Nifaq jenis ini seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah : 8)
Karena kemunafikan itu masalah hati yang tersembunyi, maka tidak seorangpun yang bisa memastikan seseorang itu munafik atau bukan. Bahkan sahabat sekaliber Umar bin Khatab pun tidak mengetahuinya. Hanya seorang sahabat yang tahu satu per satu orang-orang munafik di Madinah waktu itu. Dialah Hudzaifah Ibnul Yaman. Hudzaifah mengetahui siapa orang-orang munafik karena Rasulullah SAW memberitahukan kepadanya. Itu merupakan salah satu keutamaan Hudzaifah sehingga ia dijuluki pemegang rahasia Rasulullah.
Meskipun tidak dapat diketahui secara pasti, kemunafikan bisa diwaspadai dari tanda-tandanya. Dalam hadits ini Rasulullah SAW menjelaskaskan bahwa tanda-tanda munafik itu ada tiga.
Jika tanda-tanda munafik ini ada pada seseorang, hendaklah orang itu diwaspadai supaya tidak dijadikan pemimpin bagi umat Islam. Namun yang lebih penting, dengan memperhatikan tiga tanda-tanda munafik ini kita mewaspadai diri kita agar jangan sampai kemunafikan hinggap dalam jiwa.
Tanda Munafik yang Pertama
إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ
Inilah tanda munafik yang pertama; gemar berbohong. Semakin sering berbohong, semakin dekat dengan kemunafikan.
Dalam hadits lain Rasulullah SAW pernah mensifati seorang mukmin. Bahwa mungkin saja seorang mukmin itu penakut, mungkin saja bakhil, tetapi tidak mungkin seorang mukmin itu pembohong.
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ جَبَانًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ بَخِيلًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا فَقَالَ لَاََََ
Ditanyakan kepada Rasulullah Saw: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut?” Beliau menjawab: ‘Ya.” Lalu ditanya lagi: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu ditanyakan lagi: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong?” Beliau menjawab: “Tidak!” (HR. Malik dari Sofwan bin Sulaim dalam Al-Muwatha')
Tanda Munafik yang Kedua
وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
Inilah tanda munafik yang kedua; gemar mengingkari janji. Semakin sering mengingkari janji, semakin dekat dengan kemunafikan. Karenanya, berhati-hatilah dengan janji.
Tanda munafik yang kedua ini tidak lebih mudah dihindari daripada tanda munafik pertama. Sering kali seorang muslim sudah mampu menjaga agar perkataannya benar, menghindari berbohong, tetapi ia masih mudah berjanji padahal ia tahu dirinya sulit memenuhi janji itu. Apalagi jika seseorang menjadi pemimpin; dorongan untuk berjanji biasanya lebih besar. Maka intensitas memberikan janji semakin besar. Lihatlah praktik kampanye di zaman sekarang. Bukankah dalam satu pertemuan saja bisa dicatat sekian banyak janji? Berhati-hatilah.
Tanda Munafik yang Ketiga
وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Ini tanda munafik yang ketiga; mengkhianati amanah. Semakin sering dilakukan, semakin dekat dengan kemunafikan. Semakin besar amanah yang dikhianati, semakin jelas tanda kemunafikan. Sekali lagi, meskipun kita tidak bisa memastikan.
Amanah bentuknya bisa bermacam-macam. Bisa jadi ia adalah pekerjaan atau profesi yang di dalamnya ada kewajiban yang seharusnya kita penuhi. Bisa jadi ia adalah kepemimpinan yang dipercayakan kepada kita. Bahkan titipan barang dari orang lain agar kita menjaganya, atau rahasia dari orang lain agar kita menyimpannya, semua itu termasuk amanah.
Maka, marilah kita melakukan introspeksi diri agar tidak terjerumus dalam kemunafikan. Jika selama ini kita kurang komit terhadap kejujuran, mudah mengingkari janji atau menganggap remeh amanah, marilah kita bertaubat dan memperbaiki diri.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Munafik adalah orang yang nifaq, antara lahir dan batinnya tidak sama (bertolak belakang). Yang paling parah adalah ketika secara dzahir mengatakan beriman tetapi hatinya kafir ;
2. Meskipun orang munafik tidak dapat diketahui secara pasti, namun tanda-tandanya dapat dikenali;
3. Tanda-tanda orang munafik ada tiga yaitu jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia mengingkari dan jika diberi amanah ia berkhianat.
Demikian Hadits ke-33 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kemunafikan dan orang munafik, serta dikaruniai taufiq agar terjauh dari tanda-tanda munafik. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Rabu, 11 Juni 2014
SISTEM DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT AGAMA ISLAM
SISTEM DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT AGAMA ISLAM
A. Kewarisan Menurut Hukum Islam
Hukum Kewarisan menuuut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh ditegaskan oleh rasulullah Saw. Yang artinya:
“Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.
Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan menururt Islam adalah sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits rasulullah di atas.
Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu:
hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.
Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah:
Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
Menyelesaiakan wasiat pewaris.
Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI).
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI).
Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).
Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
Perkawinan.
Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Wakaf dan sedekah.
Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan. Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:
a. Anak laki-laki (al ibn).
b. Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .
c. Bapak (al ab).
d. Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
e. Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
f. Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).
g. Saudara laki-laki seibu (al akh lium).
h. Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
i. Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).
j. Paman seibu sebapak.
k. Paman sebapak (al ammu liab).
l. Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
m. Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).
n. Suami (az zauj).
o. Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan seorang
hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris.
Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:
a. Anak perempuan (al bint).
b. Cucu perempuan (bintul ibn).
c. Ibu (al um).
d. Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).
e. Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).
f. Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
g. Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).
h. Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).
i. Isteri (az zaujah).
j. Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).
Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang menjadi dasar hukum bagian isteri adalah firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12, yang artinya:
“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”.
Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian apabila pewaris mempunyai anak, berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”.
Sedangkan bagian anak perempuan adalah:
Seorang anak perempauan mendapat ½ bagian, apabila pewaris mempunyai anak laki – laki.
Dua anak perempauan atau lebih, mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.
Seorang anak perempuan atau lebih, apabila bersama dengan anak laki-laki, maka pembagiannya dua berbanding satu (anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian), hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa’ Ayat 11 yang artinya:
“Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Bagian anak laki-laki adalah:
a. Apabila hanya seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua warisan sebagai ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun jika ada ahli waris dzawil furudz maka ia hanya memperoleh ashabah (sisa) setelah dibagikan kepada ahli waris dzwil furudz tersebut (ashabah bin nafsih).
b. Apabila anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak perempauan, serta ahli waris dzwil furudz yang lain, maka ia membagi rata harta warisan itu, namun jika ada anak perempuan, maka dibagi dua banding satu (ashabah bil ghair), berdasarkan surat Anisa’ ayat 11 dan 12 tersebut.
Ibu dalam menerima pusaka/bagian harta waris adalah sebagai berikut:
1. Ibu mendapat seperenam, apabila pewaris meninggalkan anak.
2. Ibu mendapat sepertiga bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak.
Dan diantara ahli waris yang ada, apabila ada ibu maka yang dihijab ibu adalah nenek dari pihak ibu, yaitu ibu dari ibu dan seterusnya keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak dan seterusnya keatas. Hal ini berdasarkan surat An Nisa’ ayat 11 yang artinya:”Dan untuk dua orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu mempunyai anak”.
Bagian Bapak adalah:
a. Apabila sipewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki, maka bapak mendapat 1/6 dari harta peninggalan dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki.
b. Apabila pewaris hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil semua harta peninggalan dengan jalan ashabah.
c. Apabila pewaris meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak mengambil 2/3 bagian.
Sedangkan bagian nenek adalah:
a. Apabila seorang pewaris meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat bagian 1/6.
b. Apabila seorang pewaris meninggalkan nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat 1/6 dibagi rata diantara nenek tersebut.
Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak mewaris adalah:
a. Pembunuh pewaris, berdasrkan hadtis yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan An Nasa’i.
b. Orang murtad, yaitu keluar dari agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bardah.
c. Orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama Islam atau kafir.
d. Anak zina, yaitu anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi (Hazairin, 1964: 57).
Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek terhalang, baik nenek dari pihak ibu sendiri maupun nenek dari pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan adalah hanya anak (baik laki-laki maupun perempuan), ayah, ibu, dan janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain terhalang (mahjub) (Pasal 174 Ayat (2) KHI).
B. Sistem Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1. Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
a. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing – masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
c. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
b. Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c. Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.
d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.
C. Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata (BW).
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.
Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.
Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).
A. Kewarisan Menurut Hukum Islam
Hukum Kewarisan menuuut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh ditegaskan oleh rasulullah Saw. Yang artinya:
“Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.
Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan menururt Islam adalah sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits rasulullah di atas.
Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu:
hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.
Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah:
Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
Menyelesaiakan wasiat pewaris.
Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI).
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI).
Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).
Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
Perkawinan.
Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Wakaf dan sedekah.
Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan. Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:
a. Anak laki-laki (al ibn).
b. Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .
c. Bapak (al ab).
d. Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
e. Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
f. Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).
g. Saudara laki-laki seibu (al akh lium).
h. Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
i. Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).
j. Paman seibu sebapak.
k. Paman sebapak (al ammu liab).
l. Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
m. Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).
n. Suami (az zauj).
o. Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan seorang
hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris.
Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:
a. Anak perempuan (al bint).
b. Cucu perempuan (bintul ibn).
c. Ibu (al um).
d. Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).
e. Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).
f. Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
g. Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).
h. Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).
i. Isteri (az zaujah).
j. Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).
Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang menjadi dasar hukum bagian isteri adalah firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12, yang artinya:
“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”.
Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian apabila pewaris mempunyai anak, berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”.
Sedangkan bagian anak perempuan adalah:
Seorang anak perempauan mendapat ½ bagian, apabila pewaris mempunyai anak laki – laki.
Dua anak perempauan atau lebih, mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.
Seorang anak perempuan atau lebih, apabila bersama dengan anak laki-laki, maka pembagiannya dua berbanding satu (anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian), hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa’ Ayat 11 yang artinya:
“Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Bagian anak laki-laki adalah:
a. Apabila hanya seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua warisan sebagai ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun jika ada ahli waris dzawil furudz maka ia hanya memperoleh ashabah (sisa) setelah dibagikan kepada ahli waris dzwil furudz tersebut (ashabah bin nafsih).
b. Apabila anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak perempauan, serta ahli waris dzwil furudz yang lain, maka ia membagi rata harta warisan itu, namun jika ada anak perempuan, maka dibagi dua banding satu (ashabah bil ghair), berdasarkan surat Anisa’ ayat 11 dan 12 tersebut.
Ibu dalam menerima pusaka/bagian harta waris adalah sebagai berikut:
1. Ibu mendapat seperenam, apabila pewaris meninggalkan anak.
2. Ibu mendapat sepertiga bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak.
Dan diantara ahli waris yang ada, apabila ada ibu maka yang dihijab ibu adalah nenek dari pihak ibu, yaitu ibu dari ibu dan seterusnya keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak dan seterusnya keatas. Hal ini berdasarkan surat An Nisa’ ayat 11 yang artinya:”Dan untuk dua orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu mempunyai anak”.
Bagian Bapak adalah:
a. Apabila sipewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki, maka bapak mendapat 1/6 dari harta peninggalan dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki.
b. Apabila pewaris hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil semua harta peninggalan dengan jalan ashabah.
c. Apabila pewaris meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak mengambil 2/3 bagian.
Sedangkan bagian nenek adalah:
a. Apabila seorang pewaris meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat bagian 1/6.
b. Apabila seorang pewaris meninggalkan nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat 1/6 dibagi rata diantara nenek tersebut.
Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak mewaris adalah:
a. Pembunuh pewaris, berdasrkan hadtis yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan An Nasa’i.
b. Orang murtad, yaitu keluar dari agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bardah.
c. Orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama Islam atau kafir.
d. Anak zina, yaitu anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi (Hazairin, 1964: 57).
Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek terhalang, baik nenek dari pihak ibu sendiri maupun nenek dari pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan adalah hanya anak (baik laki-laki maupun perempuan), ayah, ibu, dan janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain terhalang (mahjub) (Pasal 174 Ayat (2) KHI).
B. Sistem Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1. Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
a. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing – masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
c. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
b. Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c. Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.
d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.
C. Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata (BW).
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.
Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.
Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).
Makalah Dasar Hukum Waris
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang,
Jika
dianalisa kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam
bidang agama yang khusus dalam bidang agama islam terutama bidang fiqih
sangat mendasar sekali banyak orang yang belum faham khususnya dalam
ilmu faroid dan mawaris.
B.Rumusan masalah
1. sumber hukum waris islam.
2. sumber hukum waris nasional
3. hukum waris dalam kompilasi hukum waris nasional.
4. hubungan waris islam dengan hukum waris nasional.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan
Umum Memperoleh gambaran tentang bagaimana pengetahuan tentang agama
khususnya dalam bidang agama dalam pengetahuan sumber hukum islam dalam
ilmu mawaris atau faroid.
2. Tujuan Khusus:Agar
masyarakat lebih memahami dan mengetahui seberapa penting dasar –dasar
hukum islam khususnya dalam bidang kewarisan harta benda.
BAB II
A.sumber hukum waris islam
Hukum
islam telah menerangkan dan mengatur hal-hal ketentuan yang berkaitan
dengan pembagian harta warisan dengan aturan yang sangat adil sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam al-quran dan al-hadist,dalam hukum
warisini telah ditetapkan dengan rinci bagian masing-masing ahli waris
baik laki-laki ataupun perempuan mukai dari bapak,ibu,kakek
,nenek,suami,istri,anak,saudara,dan seterusnya.adapun ketetapan mawaris
dijelaskan pula dalam hadist.hanya hukum warislah yang dijelaskan secara
terperinci dalam al-quran sebab waris merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dalam islam ataupun dalam negara serta di
benarkan adanya oleh Alloh swt.
Adapun
sumber hukum ilmu mawaris adalah al-quran dan hadist atau sunah rosul
kemudian ijtihat para ulama bukan bersumber kepada pendapat seseorang
yang terlepas dari jiwa al-quran maupun sunah rosul.adapun sumber-sumber
hukum islam yang berhubungan dengan masalah mawaris ,antara lain;
A.al-quran surah an-nisa ayat 7
لِّلرِّجَالِ
نَصِيبٌ۬ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٲلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ
نَصِيبٌ۬ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٲلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ
مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبً۬ا مَّفۡرُوضً۬ا (٧)
“Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian [pula] dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan”. (7)
B.al-quran surah an-nisa ayat 11-12
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوۡلَـٰدِڪُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً۬ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ وَٲحِدَةً۬ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ وَلِأَبَوَيۡهِ لِكُلِّ وَٲحِدٍ۬ مِّنۡہُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ ۥ وَلَدٌ۬ۚ فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُ ۥ وَلَدٌ۬ وَوَرِثَهُ ۥۤ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ فَإِن كَانَ لَهُ ۥۤ إِخۡوَةٌ۬ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصِى بِہَآ أَوۡ دَيۡنٍۗ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعً۬اۚ فَرِيضَةً۬ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمً۬ا (١١) ۞
وَلَڪُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٲجُڪُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ۬ۚ فَإِن ڪَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ۬ فَلَڪُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَڪۡنَۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ۬ۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَڪُن لَّكُمۡ وَلَدٌ۬ۚ فَإِن ڪَانَ لَڪُمۡ وَلَدٌ۬ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَڪۡتُمۚ مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ۬ۗ وَإِن كَانَ رَجُلٌ۬ يُورَثُ ڪَلَـٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٌ۬ وَلَهُ ۥۤ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٌ۬ فَلِكُلِّ وَٲحِدٍ۬ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن ڪَانُوٓاْ أَڪۡثَرَ مِن ذَٲلِكَ فَهُمۡ شُرَڪَآءُ فِى ٱلثُّلُثِۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصَىٰ بِہَآ أَوۡ دَيۡنٍ غَيۡرَ مُضَآرٍّ۬ۚ وَصِيَّةً۬ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ۬ (١٢)
“Allah
mensyari’atkan bagimu tentang [pembagian pusaka untuk] anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya [saja], maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. [Pembagian-pembagian tersebut di atas]
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau [dan] sesudah dibayar
hutangnya. [Tentang] orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat [banyak] manfa’atnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (11) Dan bagimu [suami-suami] seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau [dan] sesudah dibayar hutangnya.
Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
seibu saja atau seorang saudara perempuan seibu saja maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat kepada ahli
waris . Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun”(12)
C.al-quran surah an-nisa ayat 176
يَسۡتَفۡتُونَكَ
قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيڪُمۡ فِى ٱلۡكَلَـٰلَةِۚ إِنِ ٱمۡرُؤٌاْ هَلَكَ
لَيۡسَ لَهُ ۥ وَلَدٌ۬ وَلَهُ ۥۤ أُخۡتٌ۬ فَلَهَا نِصۡفُ مَا تَرَكَۚ
وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ۬ۚ فَإِن كَانَتَا
ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَۚ وَإِن كَانُوٓاْ
إِخۡوَةً۬ رِّجَالاً۬ وَنِسَآءً۬ فَلِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ
ٱلۡأُنثَيَيۡنِۗ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَڪُمۡ أَن تَضِلُّواْۗ وَٱللَّهُ
بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمُۢ (١٧٦)
“Mereka
meminta fatwa kepadamu [tentang kalalah [1]. Katakanlah: "Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah [yaitu]: jika seorang meninggal dunia,
dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai [seluruh harta saudara
perempuan], jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka [ahli waris itu
terdiri dari] saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan [hukum ini] kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”. (176)
Adapun dasar atau sumber hukum waris yang berasal dari sunah rasul ataupun hadist di antaranya;
1. yang
artinya”alloh telah menurunkan hukum waris bagi saudara-saudaramu yang
perempuan itu dan alloh telah menerangkan bahwa mereka mendapat bagian
dua pertiga dari hartamu”
2. yang artinya”bagi yang membunuh tidak mendapatkan hak waris atau bagian harta warisan”(HR.An nasai)
3. yang
artinya”seorang muslim tidak berhak mendapat bagian harta warisan dari
seorang kafir,dan sebaliknya seorang kafir tidak berhak mandapat bagian
harta warisan dari seorang muslim”(HR.jamaah ahlu hadist)
4. Dari
Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Berikanlah faraidh
(bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya
berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat."
(HR Bukhari dan Muslim)kesimpulan atau intisari hadits ini: Dalam
pembagian warisan, ahli waris yang mendapat bagian lebih dahulu adalah
ahli waris golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang bagian mereka sudah
tertentu), kemudian kalau ada sisanya baru diberikan kepada ahli waris
golongan ‘ashabah (ahli waris penerima sisa).
5. Dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata: Janda (dari Sa'ad RA)
datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya.Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa'ad yang telah syahid pada Perang Uhud. Paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin tanpa harta." Nabi SAW bersabda: "Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini." Kemudian turun ayat-ayat tentang warisan. Nabi SAW memanggil si paman dan berkata: "Berikan dua pertiga untuk dua orang anak Sa'ad, seperdelapan untuk isteri Sa'ad, dan selebihnya ambil untukmu." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Dalam kasus pembagian warisan yang ahli warisnya terdiri dari dua orang anak perempuan, isteri, dan paman, maka kedua anak perempuan mendapat 2/3 bagian, isteri mendapat 1/8, dan paman menjadi ‘ashabah bin-nafsi yang mendapat sisanya.
datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya.Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa'ad yang telah syahid pada Perang Uhud. Paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin tanpa harta." Nabi SAW bersabda: "Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini." Kemudian turun ayat-ayat tentang warisan. Nabi SAW memanggil si paman dan berkata: "Berikan dua pertiga untuk dua orang anak Sa'ad, seperdelapan untuk isteri Sa'ad, dan selebihnya ambil untukmu." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Dalam kasus pembagian warisan yang ahli warisnya terdiri dari dua orang anak perempuan, isteri, dan paman, maka kedua anak perempuan mendapat 2/3 bagian, isteri mendapat 1/8, dan paman menjadi ‘ashabah bin-nafsi yang mendapat sisanya.
6. Dari
Huzail bin Surahbil RA, dia berkata: Abu Musa RA ditanya tentang kasus
kewarisan seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki,
dan seorang saudara perempuan. Abu Musa RA berkata: "Untuk anak
perempuan setengah, untuk saudara perempuan setengah. Datanglah kepada
Ibnu Mas'ud RA, tentu dia akan mengatakan seperti itu pula." Kemudian
ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud RA dan dia menjawab: "Saya menetapkan
berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW. Yaitu untuk anak
perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam sebagai pelengkap dua
pertiga, sisanya untuk saudara perempuan." (HR Bukhari, Abu Daud,
Tirmidzi, dan Ibnu Majah)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Hadits ini
menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris cucu perempuan (dari anak
laki-laki) yang mendapat 1/6 bagian jika bersama dengan seorang anak
perempuan yang mendapat 1/2 bagian. Sementara itu,
saudara
perempuan mendapat sisanya (dalam hal ini, saudara perempuan menjadi
‘ashabah ma’al-ghair dengan sebab adanya anak perempuan dan/atau cucu
perempuan)
Kembalilah
dulu, nanti saya akan bertanya kepada orang lain tentang hal ini."
Mughirah bin Syu'bah RA berkata: "Saya pernah menghadiri majelis Nabi
SAW yang memberikan hak nenek sebanyak seperenam." Abu Bakar RA berkata:
"Apakah ada orang lain selain kamu yang mengetahuinya?" Muhammad bin
Maslamah RA berdiri dan berkata seperti yang dikatakan Mughirah RA. Maka
akhirnya Abu Bakar RA memberikan hak warisan nenek itu." (HR Tirmidzi,
Abu Daud, dan Ibnu Majah)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Hadits ini
menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris nenek, yaitu nenek
mendapat 1/6 bagian jika cucunya meninggal dengan syarat tidak ada ibu.
Demikianlah
beberapa hadits Nabi SAW yang dapat dijadikan sebagai pelengkap sumber
hukum waris Islam setelah Al-Qur’an. Dari ayat-ayat mawaris dan
hadits-hadits mawaris, maka para ulama telah menyusun satu cabang ilmu
dalam agama Islam yang diberi nama Ilmu Faraidh atau Ilmu Mawaris yang
menjadi pedoman bagi umat Islam untuk melaksanakan pembagian harta
warisan sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan bimbingan Rasulullah SAW
ijtihad
Meskipun Al-Quran dan Sunnah Rasul telah memberi ketentuan terperinci
tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih
diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan
dalam kedua sumber hukum tersebut. Misalnya mengenai bagian warisan
orang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya
diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan duda
atau janda.
B.SUMBER HUKUM WARIS NASIONAL
Di negara
kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk,
dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima
oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum
Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa .Hal ini adalah akibat warisan
hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda
dahulu. Kita
sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu
mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional
(seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang
sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai
pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.
Karena itu
menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Yang tentunya
mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum
warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam
menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya
ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya,
dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat
yang bersangkutan.
Adapu beberapa pasal yang mengatur tentang hukum kewarisan di negara kita terdapat pada hukum perdata
Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
1. Hukum keluarga
2. Hukum harta kekayaan
3. Hukum benda
4. Hukum Perikatan
5. Hukum Waris
Penempatan hukum waris terdapat pada Pasal 528 dan
Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata),dan pada perundang-undangan
kompilasi hukum islam atau (KHI).
Didalamnya subjek hukum waris terbagi 2 (dua) yakni :
· Perwaris, yakni yang meninggalkan harta dan diduga meninggal dengan meninggalkan harta.
· Ahli waris, yakni mereka yang sudah lahir pada saat warisan terbuka, hal ini berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata.
Dalam hal ini penggolongan ahli waris berdasarkan garis keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam KUHPerdata, antara lain :
1. Golongan 1, sebagaimana disebutkan pada Pasal 852 sampai Pasal 852a KUHPerdata;
2. Golongan II, sebagaimana disebutkan pada Pasal 855 KUHPerdata;
3. Golongan III, sebagaimana disebutkan pada Pasal 850 jo 858 KUHPerdata; dan
4. Golongan IV, sebagaimana disebutkan pada Pasal 858 sampai dengan Pasal 861 KUHPerdata.
A. GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.
Ayah,ibu,dan saudara baik ayah maupun ibu.
B. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak.
Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.
Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian
C. GOLONGAN III
kakek ,nenek keduanya.
Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.
Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.
D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.
Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian
C. GOLONGAN III
kakek ,nenek keduanya.
Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.
Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.
D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.
Hukum waris adat
Hukum waris adat Menurut
Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian
dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang
berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu,
pendapat Soepomo ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud
(immateriele goederen), dari suatu angkatan generasi manusia kepada
keturunnya.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur
proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah
meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Adapun
sifat atsau ciri Hukum Waris Adat dapat diperbandingkan dengan sifat
atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
1. Harta
warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat
dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi
atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para
ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta
warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
2. Dalam
Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian
mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris
Islam.
3. Hukum
Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk
sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
C.HUKUM WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
Kompilasi
hukum islam tersebut adalah pengumpulan dasar-dasar hukum islam yang di
teraturkan dan di jadikan satu atau di bukukan untuk selanjutnya
dijadikan acuan hukum dasar nasional.Kompilasi Hukum Islam (KHI) disahkan
melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991,KHI memuat tiga buku yaitu: buku I
HukumPerkawinan (Pasal 1-170), Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214),
Buku III HukumPerwakafan (Pasal 215-229).Lihat Depag RI, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia (t. tp.,: Depag RI, 1998/1999).Saat ini ada
pembahasan tentang RancanganUndang-Undang (RUU) Republik Indonesia
tentang Hukum Terapan Peradilan Agama yangmemuat 215 pasal yang terdiri
dari ketentuan umum (pasal 1), perkawinan (pasal 2-172),kewarisan (pasal
173-215) yang menurut pengamatan penulis dalam hal perkawinan dan
kewarisan RUU tersebut tidak lain adalah metamorfosis dari KHI.
Dalam kompilasi hukum islam telah dijelaskan pada pasal 211c(khi)
“Hibah dari orang tuanya pada anaknya dapat di perhitungkan sebagai warisan”
kesimpulan
pasal tersebut dapat di artikan bahwa sesuatu yang di hibahkan dari
orang tua dapat dikatakan sebagai warisan,kebiasan pemberian sesuatu
pada anaknya baik berupa barang ataupun yang lain yang telah mejadi
kebiasan atau yang lebih kita kenal dengan urf suatu adat kebiasaan yang
telah berlangsung telah lama atau tradisi .urf atau adat di bagi dalam
dua hal :
1. urf sahih ialah sesuatu yang telah dikenal dan tidak berlawanan dengan hukum syara islam.
2. urf fasuh ialah sesuatu yang telah dikenal dan berlawanan dengan hukum syara islam.dan hal ini tidak dapat di pelihara.
Pengumpulan
sumber-sumber hukum isalam yang kemudian di jadikan satu atau di
bukukan dapat digunakan sebagai acuan hukum islam terutama dalam bidang
mawaris. kompilasi hukum nasional dalam hukum waris islam dapat kita
lihat dalam hukum kompilasi islam yang telah sedikit di terangkan di
bagian atas sebagai dasar hukum nasional yang saat ini mulai di jalankan
dan jadikan sebagai hukum negara misalnya saja dalam bab waris
ini,dimana telah telah tertulis dengan jelas pada kompilasi hukum islam (KHI) seperti Pewaris bab1Pasal 171c KHI dan ahli waris pasal 171,173,174,175 KHI, Kompilasi
Hukum Islam (KHI) disahkan melalui Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991,KHI memuat tiga buku
yaitu:
buku I HukumPerkawinan (Pasal 1-170),
Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214),
Buku III HukumPerwakafan (Pasal 215-229).
D.HUBUNGAN ANTARA WARIS ISLAM DENGAN HUKUM WARIS NASIONAL
Hubumgan
antara keduanya sanga erat hal ini karna keduanya mebahas tentang
perpindahan waris kepada tangan orang lain berupa barang-barang
peninggalan dalam keadaan bersih, artinya sudah dikurangi dengan
pembayaran utang-utang dari orang yang meninggalkan warisan serta dengan
pembayaran-pembayaran lain yang disebabkan oleh meninggalkanya orang
yang meninggalkan warisan tersebut.telah di jelaskan di atas tentang
hukum waris nasional dan hukum waris islam dimana
Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum
terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku
dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang
berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa dan yang
paling dominan dijadikan hukum adalah hukum waris islam namu pemerintah
telah mengesahkan beberapa hukum islam yang di jadikan
undang-undangyaitu kompilasi hukum islam(KHI) salah satunya yang
didalamnya memuat beberapa hukum islam dalam bidang-bidang tertentu
khususnya dalam bidang waris.Begitu juga dengan hukum perdata eropa yang
di gunakan di negara kita sebagai acuan hukum nasional berbagai bidang
seperti halnya bab mawaris yang termasuk dalam hukum perdata.
Hal
inilah yang membuat hukum nasional dan hukum waris islam erat kaitanya
antara satu dengan yang lain dan saling berhubungnan dalam penetapan
hukum di negara kita ini,namun kebanyakan dari penetapan hukum yang
berada di andonesia ini lebih banyak menggunakan hukum islam dari pada
hukum lain.
E.KESIMPULAN
· dasar
hukum islam berasal dari ketentuan syara yang telah tercantum jelas
dalam al-quran dan sunah rasul ataupu hadist yang telah di ruwayatkan,
dimana dasar yang di gunakan dan di jelaskan secara rinci tentang
mawaris secara jelas dan rinci dalam al-quran surah an-nisa.
· Sedangkan hukum waris nasional Di
negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum
terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku
dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang
berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa di mana saat
ini yang lebih sering di gunnakan adalah hukum waris nasional.
· Hukum
nasional dalam kompilasi hukum islam sudah banyak di gunakan dan banyak
hukum-hukum islami di kumpulkan dan di jadikan satu berbentuk buku
dan disahkan sebagai undang-undang(KHI)
· Hubungan
antara kedua hukum tersebut baik waris nasional maupu waris islam
sangat erat kaitanya hal ini karna negara kita belum terbentuk hukum
waris yang berlaku dan masih menggunkan hukum peninggalan bangsa
eropa,dan hukum adat masing-masing
Daftar pustaka
Fiqih al-hikmah,akik pustaka,surabaya.Al-quran dan terjemah,mahkota,surabaya.
Al-quran htp//www.al-quran exsploler.com.
Kamus besar bahasa indonesia,htp//www.kamus bahasa.com
Anderson, J. N. D., Hukum Islam Di Dunia Modern, terj. Machnun Husein,
Surabaya: Amarpress, 1991.
Anwar, Syamsul, “Pengembangan Ilmu Syari‟ah Dan Model-Model.
Syari‟ah dan Metodologi Penelitiannya Fakultas Syari‟ah IAIN SunanKalijaga Yogyakarta tanggal 22 Nopember 2000.
Anonim, Yurisprudensi (Peradilan Agama dan Analisa), Jakarta: Yayasan AlHikmah,1995.
Anonim, Profil Peradilan Agama, Jakarta, Dirjen Badilag MARI, 2008.
Langganan:
Postingan (Atom)